Tuesday, 26 April 2011

Ekspedisi Ranah Minang (terakhir)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Ini adalah perkataan yang pernah terucap dari salah seorang proklamator kita Presiden Soekarno. Bersama Bung Hatta, beliau telah memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan mempelajari sejarah, akan banyak nilai-nilai yang bisa dipelajari.

Menyebut nama Bukittinggi takkan bisa dilepaskan dari salah satu proklamator kita Bung Hatta. Beliau dilahirkan di sini pada tanggal 12 Agustus 1902. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.


Istana Bung Hatta

Untuk mengenang beliau, dibangunlah Istana Bung Hatta tepat di depan jam Gadang. Di sisi lainnya dibangun taman monumen Bung Hatta. Di sana dibangun sebuah patung Bung Hatta. Pun tak jauh dari jantung kota Bukittinggi ini, terdapat saksi bisu lahirnya sang proklamator. Berada di Jalan Sukarno Hatta nomor 37, Hatta kecil menghirup udara untuk pertama kalinya.

Bangunan berlantai dua ini dipenuhi oleh foto-foto Bung Hatta. Perabot yang ada juga masih asli, sehingga para pengunjung dilarang untuk duduk di kursi atau ranjang yang ada. Di belakang bangunan utama, terdapat lumbung padi, dapur, kandang kuda dan juga tempat andong/dokar. Ada juga sepeda angin Bung Hatta yang tersimpan rapi di sana.


Rumah Kelahiran Bung Hatta

Ini adalah hari terakhir saya di Bukittinggi. Setelah sholat Dhuhur, saya pun meluncur ke Padang. Perjalanan sekitar 2,5 jam dengan "travel gelap", tarifnya 18 ribu saja. Di Padang saya sudah janjian dengan teman di depan Plaza Andalas (baca plaza andaleh). Tak jauh dari sini, terdapat Pantai Angsa. Sambil menunggu teman tadi, saya pun menikmati syahdunya matahari terbenam di Pantai Angsa ditemani semangkuk mie ayam dan segelas es kelapa muda beriringkan deburan ombak.


Pantai Angsa

Akhirnya teman saya datang juga. Setelah sholat maghrib dan makan malam, kami pun meluncur ke jembatan Siti Nurbaya. Masih ingat dengan Siti Nurbaya kan? Sebuah cerita rakyat dari sumatera barat tentang kasih tak sampai antara Samsul Bahri dan Siti Nurbaya yang terhalang oleh kecongkakan Datuk Maringgih. Pada akhir 80-an cerita ini sempat difilmkan dan saya sangat menyukainya, mungkin anda juga kan?

Di sini adalah spot nongkrong muda-mudi dari sore sampai malam hari. Di bawahnya mengalir muara sungai Batang Arau yang di kiri kanannya tertambat kapal-kapal bagi yang mau ke pulau-pulau di sisi barat padang, seperti ke pulau mentawai. Sambil ngobrol dan menikmati kerlap-kerlip lampu kapal yang terpantulkan oleh air sungai, kita bisa menikmati hangat dan manisnya jagung bakar ataupun pisang bakar. Bahkan sekarang muncul statemen bahwa belum ke Padang kalau belum mampir di Jembatan Siti Nurbaya yang menghubungkan kota tua Padang dengan taman Siti Nurbaya di Bukit Gunung Padang.


Jembatan Siti Nurbaya

Puas menikmati indahnya jembatan Siti Nurbaya, kami menuju spot berikutnya. Monumen Korban Gempa. Monumen ini untuk mengenang kejadian bencana yang sangat mengerikan yang menimpa kota Padang pada tahun 2009 yang lalu, yaitu gempa. Terdapat beberapa tugu setinggi 3 meteran, yang memuat nama-nama korban bencana dan ada juga pesan yang disampaikan oleh Presiden SBY. Jarum jam sudah menunjukkan jam 23.40 WIB, kami pun segera pulang untuk beristirahat.


Monumen Korban Gempa Padang

Tak jauh dari tempat tinggal teman, ternyata ada kampus Universitas Andalas. Tempatnya di atas bukit, suasananya sangat asri, dengan pemandangan lereng-lereng bukit yang hijau menyegarkan mata. Saya pun menyempatkan diri untuk masuk ke kompleks kampus pagi itu. Sambil mengenang masa-masa ketika menjadi mahasiswa di kampus biru di kota singa dulu.


Universitas Andalas

Sebagai penutup acara jalan-jalan kali ini, sebelum harus balik ke jakarta pada sore harinya, saya pergi ke Pantai Air Manis (baca aie manih). Untuk mencapainya harus melewati sebuah bukit, tapi tidak perlu takut karena dari sini kita pun disuguhkan pemndangan yang sangat indah yaitu Kota Padang dan juga Pulau Pisang, yaitu sebuah pulau yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Di Pantai Air Manis inilah terdapat "bukti" kedurhakaan seorang anak terhadap sang ibu. Ya... itulah Malin Kundang. Dia tampak bersujud di atas bahtera kapalnya yang terdampar di tepi pantai ini.


Pantai Air Manis

Pernah dengar lagu Teluk Bayur kan? Ternyata memang ada dan itu di sini di Padang. Terdapat Pelabuhan Teluk Bayur milik Pelindo. Beberapa meter dari pelabuhan Teluk Bayur ada satu spot yang sangat menarik. Di sini kita bisa bermain dengan kera yang jumlahnya sangat banyak. Dan akhirnya perjalanan saya di Ranah Minang harus berakhir sampai disini. Iringan lagu Teluk Bayur oleh Ernie Johan mengiringi kepulangan saya ke Jakarta.


Penjaga Teluk Bayur

lambaian tanganmu kurasakan pilu didada
kasih sayangku bertambah padamu
air mata berlinang...
tak terasakan olehku
nantikanlah aku di teluk bayur...

Thursday, 14 April 2011

Ekspedisi Ranah Minang (4)

Kalau di Inggris ada Big Ben, maka di Bukittinggi ada Jam Gadang. Jam Gadang berada di sebuah area semacam alun-alun yang tidak terlalu luas di tengah kota. Namun, Jam Gadang berhasil menjadi magnet bagi setiap orang yang berkunjung ke sana.

Ada satu hal yang menarik dari Jam gadang ini, yaitu penulisan angka empat yang tidak mengikuti kaidah penulisan angka romawi yaitu "IV". Disini angka itu ditulis dengan "IIII". Selain penulisan angka tersebut, hal lain yang cukup menarik adalah atap tugu ini. Konon katanya atap Jam gadang ini telah berganti beberapa kali, sampai akhirnya model atap rumah adat minangkabau inilah yang dipertahankan sampai saat saya datang kemarin.


Suasana Jam Gadang

Berdasarkan keterangan yang ada di sisi tugu Jam Gadang ini, tertulis sebagai berikut.
Jam Gadang
Terletak di jantung kota Bukittinggi dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid dan
Sutan Gigi Ameh. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur (Sekretaris Kota) Rook Maker. Peletakan batu pertama jam gadang ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun.
Diameter jam 80 centimeter
Denah dasar 13 x 4 meter
Tinggi 26 meter
Biaya 3000 gulden
Atapnya mengalami penyesuaian dari waktu kee waktu.
Pada masa Belanda berbentuk bulat dan diatasnya berdiri patung ayam jantan
Pada masa Jepang berbentuk klenteng
Masa Indonesia merdeka berbentuk rumah adat Minangkabau

Berkunjung ke suatu tempat, kurang afdhol rasanya bila tidak mencoba makanan ataupun minuman khasnya. Ranah minang cukup terkenal akan minuman "air kawah daun". Minuman ini berbahan dasar daun kopi yang disangrai (goreng kering tanpa minyak). Konon ceritanya asal mula minuman ini karena pada masa penjajahan, setiap hasil panen biji kopi yang dihasilkan dibawa oleh para penjajah ke negeri mereka. Karena saking inginnya minum kopi, maka para penduduk pribumi mencoba mengolah daun kopi yang ada.

Kopinya orang Ranah Minang

Dituangkan dalam cangkir dari batok kelapa, saya mulai menyeruput minuman ini. Rasanya seperti minum arang dan sangat encer. Sambil ditemani kue bika hangat, saya coba menemukan kelezatan minuman yang katanya bisa memperlancar peredaran darah ini.

Istano Basa Pagaruyung

Pada hari kelima saya gunakan untuk pergi ke Batusangkar Kabupaten Tanah Datar. Disini terdapat sebuah istana yang terkenal dengan sebutan Istano Basa Pagaruyung. Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa asli terletak di atas Bukit Batu Patah itu dan terbakar habis pada sebuah kerusuhan berdarah pada tahun 1804.

Pada 27 Februari 2007, Istano Basa kembali mengalami kebakaran hebat. Akibatnya, bangunan tiga tingkat ini rata dengan tanah. Ikut terbakar juga sebagian dokumen, serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga ini yang selamat. Barang-barang yang lolos dari kebakaran ini sekarang disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar. Pada waktu saya kesana, proses perbaikan belum selesai, ini terlihat dari ditutupnya sekeliling bangunan istana dengan seng.


Istano Basa Pagaruyung

Beberapa kilometer dari istana ini, terdapat komplek prasasti adityawarman. Searatus meter dari komplek prasasti tersebut terdapat komplek makam Rajo Alam. Di sinilah raja-raja Pagaruyung dimakamkan. Saya pun menyempatkan diri untuk berziarah sebentar di sini. Kemudian saya lanjutkan menuju komplek Prasasti Adityawarman.


Kompleks Makam


Kompleks Prasasti Adityawarman

Menyusuri jalanan di Batusangkar, dimana kiri kanannya berupa sawah-sawah yang mulai menguning, disisipi oleh pohon nyiur yang melambai-lambai tertiup angin, benar-benar menyegarkan mata. Tak henti-hentinya hati menyanjung kebesaran-Nya. Tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah plang nama, disitu tertulis makam Syekh Abdul Rahman Al-Khalidi.


Makam dan Surau Subarang Kumango

Syekh Abdul Rahman Al Khalidi adalah seorang ulama yang menyebarkan tarekat Samaniyyah dan Naksyabandiyah di seluruh Ranah Minang. Konon, sebelumnya Syekh Abdul Rahman Al Khalidi pernah menjadi seorang parewa (preman) yang malang-melintang selama 15 tahun.

Suatu saat ia bertemu dengan Syekh Abdurrahman, kemudian menekuni ajaran agama Islam, dan menjadi seorang ulama. Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang preman yang sering berkelahi, Syekh Abdul Rahman Al Khalidi menguasai “seni berkelahi” yang kemudian dikombinasikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Pengkombinasian itu akhirnya membuahkan seni bela diri yang bernama Silat Kumango, sehingga sang pendiri sering disebut dengan “Syekh Kumango”. (sumber disini)

Friday, 8 April 2011

Ekspedisi Ranah Minang (3)

Hari kedua...

Sumatera Barat memiliki dua danau yang sudah amat terkenal yaitu Danau Maninjau dan Danau Singkarak. Tujuan saya sekarang adalah Danau Singkarak. Danau singkarak merupakan danau terluas kedua di Sumatera setelah Danau Toba. Terletak di dua kabupaten yaitu Tanah Datar dan Kabupaten Solok, danau ini berada pada ketinggian 363 mdpl dengan luas lebih dari sebelas ribu hektar. Perjalanan yang saya tempuh dari Bukittinggi sekitar 48 km.

Dengan tiket masuk yang sangat murah (nggak sampai sepuluh ribu berdua) kita bisa menikmati hembusan angin danau yang sejuk, sambil bermain ayunan diantara pohon-pohon nyiur yang tertiup angin. Pada saat saya kesana, kondisinya sangat sepi. Beberapa penjual makanan juga tutup.


pesona singkarak

Dari Singkarak perjalanan saya lanjutkan ke Pusat Kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang. Disini terdapat rumah adat minang yang sangat indah. Rumah panggung yang berbahan dari kayu. Atapnya menjulang tinggi ke langit. Di depan bangunan utama, terdapat bangunan yang katanya merupakan lumbung padi.


rumah minang

Hari ketiga...


Hari ini waktunya untuk menikmati keindahan Danau Maninjau. Tapi tidak langsung ke danaunya. Ada tempat yang sangat pas untuk menikmati keindahannya. Namanya Puncak Lawang. Seperti namanya, maka lokasinya di atas bukit yang cukup tinggi. Dari sini eksotisme Danau Maninjau dapat dinikmati dengan sangat menakjubkan.

Maninjau view

Salah satu magnet Bukittinggi yang terkenal adalah Ngarai Sianok. Dengan tiket masuk empat ribu rupiah, kita bisa menikmati keindahan Ngarai Sianok yang berupa tebing-tebing tinggi dan diantaranya mengalir sungai. Disini terdapat sebuah gardu pandang tiga tingkat untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih tinggi.


Ngarai Sianok

Apabila kita menuruni ngarai ini, maka akan sampai di Sungai Sianok. Aliran airnya tidak terlalu deras, bahkan terkadang dipakai offroader untuk menjajal kemampuan mereka. Dari sini kita akan mendapatkan view dengan sudut pandang yang berbeda dan bisa jadi lebih menarik.

sisi lain sianok

Satu kompleks dengan Ngarai Sianok adalah Taman Panorama dan Goa Jepang. Tapi untuk menikmati Goa Jepang harus bayar lagi, tiketnya enam ribu rupiah saja kok. Di Taman Panorama ini juga bisa menikmati keindahan Ngarai Sianok sambil ditemani oleh kera-kera yang jumlahnya lumayan banyak. Di tengah Taman Panorama ada semacam tempat untuk pementasan seni, sayangnya saat saya datang tidak ada acara apa-apa disini. Jadi kalo beruntung kita bisa menonton pentas seni ditemani kera sambil merasakan sejuknya hembusan angin Ngarai Sianok. Hmm...


selamat datang

Wednesday, 6 April 2011

Ekspedisi Ranah Minang (2)

Ditengah-tengah pelukan rasa dingin yang terasa menyusup sampai ke sumsum tulang, terdengar panggilan paling merdu penggetar jiwa. Panggilan terhadap jiwa-jiwa yang terlelap untuk segera membasuh diri dan jiwa dengan usapan lembut penuh kasih-Nya. Sambil menahan dingin, saya basuh muka, tangan, sebagian kepala, telinga dan dua kaki.

Usai sholat, baca-baca buku dulu. Selang berapa menit, eh kok adzan lagi? Jangan-jangan disini adzan shubuhnya dua kali? seperti yang pernah saya alami di jepara dulu. Artinya, saya tadi sholat belum masuk waktu shubuh. Hmm... berarti harus diulang lagi nih.

Sebelum bertualang, sarapan dulu. Menu pagi itu adalah lontong pical. Isinya ketupat, mi, sayur kubis dan daun singkong lalu disiram sambal kacang, terakhir ditaburi remasan kerupuk. Sambal kacangnya seperti sambal pecel di Jawa, hanya saja kurang manis dan pedas untuk lidah saya. Tapi cukup kenyang dan lumayanlah untuk pengganjal perut di pagi hari.

Tujuan pertama saya hari itu adalah melihat ikan sakti Sungai Janiah. Disini terdapat sebuah kolam dengan ikan peliharaannya yang besar-besar. Tidak ada yang berani mengambil ikan disini. Bahkan mitosnya, kedalaman kolam ini tak terukur (mungkin karena belum pernah ada yang mengukur he...).

ikan sakti sungai janiah

Dari sini petualangan saya lanjutkan ke Lembah Harau di kabupaten yang mungkin terluas di Indonesia (hehe... cuman namanya aja kok) yaitu Kabupaten Lima Puluh Kota. Disini saya disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan, berupa tebing-tebing menjulang tinggi yang sangat indah dan menunjukkan sebagian kecil kebesaran-Nya. Tebing-tebing ini seperti menyeruak dari dalam bumi menyisakan sedikit ruang bagi manusia untuk tinggal di sela-selanya.

Lembah harau Kabupaten Lima Puluh Kota

Dari beberapa tebing ini, mengalir beberapa air terjun. Walaupun tidak terlalu deras dan besar seperti air terjun di malang, tapi cukup menyegarkan untuk dinikmati di tengah-tengah cengkeraman tebing-tebing nan perkasa ini.


Siang itu di sana